tugas PKN q

Pancasila dan Masa Depan Bangsa;

Perspektif IdeologiTANGGAL 1 Juni 2008 besok Pancasila sudah berusia 63 tahun. Tulisan berikut mencoba menyoroti Pancasila dengan fokus kajian ideologi. Sentralnya Pancasila bagi negara-bangsa adalah fokus status ideologinya yang berkarakter praksis serta memuat bahkan memperjuangkan suatu kepentingan yakni kepentingan nasional: merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Pengertian Ideologi Ideologi berbeda dari suatu filsafat dalam hal berikut. Jika filsafat masih berada di ranah spekulatif-refleksif, ideologi sudah berada di ranah laku tindak. Jika filsafat adalah pemikiran rasional murni yang bisa saja dianggap “bebas nilai” (dis interestedness), ideologi sudah berciri mendegradasi rasionalitas, dengan dominasi kepentingan seperti disinggung di muka. Dalam hal tipologi atau cara berpikir, ideologi mempunyai karakter yang lebih mendekati mitos.Maka itu, ideologi bukanlah ilmu karena ilmu sifatnya kritis, terbuka dan menganut relativitas kebenaran. Sedangkan ideologi sifatnya adalah tak kritis, tertutup dan nyaris memutlakkan dirinya sebagai kebenaran. Tampilan atau kinerja ideologi maujud secara implikatif dalam perjuangan sering revolusioner, sedangkan ilmu berlangsung dalam kesenyapan karena mengandalkan gerak pikiran.Sementara kemiripannya dengan mitos fungsi utama ideologi adalah mendistorsi realitas. Mitos purba dilahirkan untuk menjawab ketaksanggupan menerangkan realitas secara rasional sistematis. Ideologi di era modern dilahirkan guna menjawab kompleksitas kehidupan dalam sistematika yang berakar pada konsep hipotetis. Segi positif dari ideologi yang berciri mitis inilah diakui dunia sebagai daya dorong (impetus) dari setiap upaya perwujudan cita-cita baik kenegara-bangsaan maupun partai. Di sini ideologi mengejawantahkan tekad dan karakter; sehingga Roeslan Abdulgani (Slamet Sutrisno; 1986) menamsilkan jika pada manusia ada kekuatan hebat yang disebut mental, maka pada negara-bangsa namanya ideologi.Maka itu selain sebagai cara berpikir, pengertian berikutnya ideologi adalah posisi dan keberadaannya selaku sistem keyakinan atau sistem nilai. Ia diterima sebagai kebenaran oleh sekelompok sosial atau negara-bangsa selaku gambaran dunia menyeluruh; kiblat dari metodologi sosial yang berfungsi panacea atau obat mujarab tunggal dalam keperluan problem solving persoalan manusia. Dan persis dalam hal inilah kalangan barat menganggap usangnya era ideologi bagi suatu negara-bangsa. Aktualitas Ideologi Jadi, ketika pada tahun 1960 Prof Daniel Bell menulis buku “The End of Ideology” banyak yang tertarik kepadanya untuk berpendapat bahwa era ideologi memang sudah harus berakhir.Dalam era modernitas, apalagi globalisasi, orang tidak lagi membutuhkan ideologi apapun. Salah satu faktornya adalah realitas teknologis yang mengikuti dan mengembangkan kejayaan era ilmu pengetahuan; ipteklah yang akan memandu manusia dalam problem solving dan bukan ideologi. Di negeri kita, pengikut pandangan ini di kalangan teknolog bukan sedikit.Di mana-mana teknologi modern merasuki masyarakat guna memajukan diri dalam stelsel peradaban baru. Karena teknologi sudah menjadi sistem, ideologi sama sekali tidak diperlukan. Justru di titik itulah kesilafan kaum teknolog; tatkala teknologi transformatif selaku sistem dia adalah ideologi, yakni teknologisme. Buku “The End of Ideology” didedikasikan kepada Prof Sidney Hook, guru dari pengarang buku tersebut. Justru Sidney Hook merespons bahwa anggapan ideologi sudah berakhir perlu diberi kritik agar tidak melakukan simpulan dan generalisasi yang salah.Dijelaskan oleh Sidney Hook bahwa mesin cetak persuratkabaran di AS dan Uni Soviet (kini; Rusia) sama-sama modern dan canggih, namun demikian outcome dari persuratkabaran kedua negeri adidaya itu jelas berlainan kalau bukan berlawanan. Kebebasan pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan dapat menjatuhkan seorang presiden (Presiden Nixon dalam Watergate), sementara kebebasan pers di Uni Soviet tentu jauh berlainan dari AS berhubung begitu represif.Malahan, dalam rezim Orde Baru dengan praktik ideologis yang juga menindis; tidak usah presiden, bahkan Menpen Harmoko pun dengan gampangnya membubarkan surat kabar. Apa yang memperbedakan sistem pers di kedua negeri itu, dan di negeri kita bukan kemodernan sistem cetaknya, melainkan praksis ideologinya. Maka itu kalau sekarang ini ramai diwacanakan bahwa dengan modernitas global maka ideologi menjadi relevan; akan bagaimanakah pendirian kita berhubung dengan warisan kenega-ra-bangsaan yang didirikan dan dipertaruhkan oleh founding fathers yang dari genesisnya adalah negara-bangsa yang berideologi?Di titik krusial inilah terhampar aktualitas membincangkan kembali ideologi negara-bangsa agar gerak kemajuan pengindonesiaan tidak menghapus ideologinya (baca; jatidirinya); apalagi kalau tidak maju-maju. Agaknya jelas bahwa membincangkan ulang Pancasila (sebagai ideologi) dan masa depan bangsa, cukup pantas dan bahkan perlu. Lebih dari itu, “Maju” dan “Kemajuan” itu sendiri jangan dilupakan merupakan term dan konsep ideologis yang menjadi alas dari modernitas Barat, dengan segala plus dan minusnya.Selain sebagai alas, dan justru sebagai alas; ia (kemajuan) membutuhkan kriteria dan intensionalitas yang keduanya hanya bisa ada berkat tilikan dan orientasi ideologis. Trilogi Pancasila Berdasarkan kenyataan sejarah, budaya dan filsafat Pancasila mempunyai tiga fungsi seperti berikut : 1. Sebagai pandangan dunia/pandangan hidup, 2. Sebagai dasar negara NKRI dan 3. Sebagai ideologi nasional (Pranarka, 1985). Fungsi pertama sebagai pandangan dunia/pandangan hidup Pancasila memberi alas dan orientasi sistem kepengetahuan dan sistem nilai bagi kebutuhan proses membangsa dan menegara atau to be keindonesiaan sepanjang masa.Fungsi ke dua adalah sebagai dasar negara yang berkenaan dengan sistem dan dasar hukum nasional, di antaranya guna mengantisipasi kehadiran sistem hukum “pra-nasional” yang bersumber ajaran keagamaan dan etnisitas eksklusif dalam tata hukum nasional yang sering kontroversial. Adapun fungsi ke tiga Pancasila sebagai ideologi nasional adalah fungsi “pragmatis” di mana laku tindak keindonesiaan menjadi keniscayaan komunitas kebangsaan. Aktualitas Pancasila sebagai Ideologi Nasional Aktualitas wacana Pancasila sebagai ideologi nasional pertama-tama adalah mengungkit kemudian perlu menggugat kesadaran dan penyadaran diri kita selaku nasion; sebab “nasional” itu adalah istilah yang kata dasarnya nasion.Dalam kerangka teori fungsi-fungsi ideologi, ideologi memiliki fungsi legitimasi (Weber) dan fungsi integrasi (Geertz). Maka itu untuk keperluan aktualisasi diri nasion, (ideologi) Pancasila perlu dinetralisir serta dieliminasi dari fungsi distorsinya, dibuat dengan elegan fungsi legitimasinya dan diperdalam fungsi integratifnya. Dari lain pihak kini makin perlu dinyatakan bahwa NKRI dengan Pancasila itu identik, ibarat air cucuran atap yang pasti mengalir secara konsisten melalui dan dalam alurnya atap tersebut (Notonagoro, 1967). Ketika dialektika dan akulturasi sudah merupakan watak keindonesiaan sejak lama, demikian pula dalam respons terhadap modernitas-global, dialektika dan akulturasi tidak boleh bergeser ke arah dikte dan pembebekan di mana Indonesia (baca: Pancasila) dibiarkan nir-peran dalam realitas objek dan bukan subjek.Di sini penting agaknya disitir “Trisakti”-nya Sukarno: “berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan”. Di lain pihak, penting pula pendirian Moh Hatta agar Pancasila tidak tampil eksklusif hanya penghias bibir (lipstick) akan tetapi berfungsi sebagai garam, tidak tampak namun terasakan. Tamsil ini diambil dari tendensi tampilan eksklusif kelompok minoritas ekonomi dan “disambung” dengan gerakan tertentu keagamaan eksklusif di negeri kita akhir-akhir ini.Padahal, Pancasila itu sendiri sebagai ideologi memiliki watak inklusif, terbukti dari simbolisme yang melekatinya, “Bhinneka Tunggal Ika”. Aktualitas ideologi Pancasila tidak bisa terlepas dari kognisi dan refleksi filosofinya, bahwa Pancasila adalah wahana dan mandala kebudayaan nasional yang mampu mengatasi kecenderungan modern peradaban dunia. Artinya, ilmu dan teknologi yang bagaimana pun pasti mempengaruhi pembentukan kebudayaan dunia, perlu dibuat distingsi yang cerdas kapan dan di mana iptek adalah budaya (terkait sistem nilai) dan iptek adalah peradaban (yang dianggap bebas nilai).Iptek, yang digerakkan oleh kekuatan nalar atau rasionalitas dalam absorbsinya ke dalam masyarakat Indonesia menunggu arahan dan “semprit” dari Pancasila ke arah pengelolaan tidak hanya dimensi etisnya, melainkan sampai dimensi kepengetahuan atau epistemologinya, bahkan segi metafisika sebab sila Ketuhanan YME mengajarkan tentang Realitas Ilahi (yang tak dikenal dalam iptek yang positivistik).Keberhasilan membangun epistemologi alternatif non- berat dicontohkan oleh bangsa Cina, semisal dengan sistem pengobatannya yang diakui dunia. Iptek di mana pun selain segi manfaat dan kemajuannya ternyata telah memicu aneka krisis dunia sebab ada latar yang ditunjukkan oleh Nicholas Maxwell (2004) sebagai faktor utama krisis-krisis itu, yakni realitas science without wisdom.Pancasila sesungguhnya mengajarkan dimensi wisdom itu, namun belum banyak dilakukan elaborasinya baik dalam ranah ilmu yang akademis dan ranah politik yang pragmatis. Studi Komparatif Ideologi Pancasila Ideologi-ideologi Barat modern bersumberkan filsafat rasionalisme dan individualisme yang menghasilkan paham modern hak-hak asasi manusia dan demokrasi Barat.Pancasila sebagai ideologi bersumberkan filsafat kebangsaan di mana masing-masing pemikiran filosofi terkait sejarah dan budaya yang berlainan, untuk mana lahir disiplin Sosiologi Pengetahuan sebagaimana dirintis dan dikembangkan oleh Marheim, Merton, Luchan dan sebagainya. Sebagai implikasinya, misalnya, adopsi HAM ke dalam konstitusi mestinya tidak dimaksudkan dalam kerangka mengubah sifat dasar konstitusi cq UUD 1945, melainkan dalam rangka tujuan lainnya. Yakni, membatasi kekuasaan agar tidak absolut, memperkaitkan hak dan kewajiban, membangun civil society dan demokratisasi. Maka itu, sekian banyak pasal-pasal HAM dalam amandemen UUD 1945 tidak dimaksudkan mencari kerangka filosofi-ideologis kebarat-baratan.Pancasila perlu diperkuat kredibilitasnya untuk menjaga agar bangsa ini tidak kebobolan dalam pembiaran realitas baru: teknologi sebagai ideologi; pembangunan ekonomi sebagai ideologi berhubung semua itu harus tetap berjalan dalam aturan main nasion, dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi nasional. Akhirnya, pengembangan ideologi Pancasila bisa ditempuh melalui cara-cara komparatif terhadap keberhasilan dan kegagalan ideologi-ideologi besar dunia.

Posted on 05.51 by liker and filed under | 0 Comments »

0 komentar: